BLANTERORIONv101

CERITA DI BALIK PERJUANGAN MENDIDIK ANAK PELOSOK NEGERI (SM-3T)

20 November 2013
SM-3T – Sarjana Mendidik di Daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal)

Logo SM-3T
Hari minggu tanggal 15 September 2013, malam hari saya berangkat dari Bandung menuju Kab. Aceh Timur bersama kawan-kawan dari SM-3T UPI daerah penugasan Aceh Timur. Keberangkatan
saya waktu itu adalah dalam rangka mengikuti sebuah program yang diselenggarakan DIKTI melalui LPTK Negeri UPI yaitu Program Sarjana Mendidik di Daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) atau SM-3T. Selain UPI, banyak juga LPTK Negeri lain yang ditunjuk oleh DIKTI untuk melaksanakan program ini, tujuannya adalah untuk membantu kualitas penddikan di daerah 3T tersebut dalam rangka menciptakan Generasi Emas Indonesia pada Tahun 2045. LPTK UPI sendiri telah memberangkatkan 2 angkatan sebelumnya, dan kami adalah angkatan ke-3 yang diutus oleh UPI. Setelah menjalani serangkaian seleksi, yaitu seleksi administrasi, ujian tulis online, tes wawancara dan kegiatan prakondisi serta tes ketahanmalangan oleh TNI AD dari Arhanudri Kodim III Siliwangi, kurang lebih sebanyak 162 peserta diberangkatkan menuju daerah penugasan masing-masing. Sebanyak 55 peserta yang lolos seleksi disebar ke pelosok Kab. Kupang di Prov. NTT, 20 peserta lainnya disebar ke Kab. Kep. Anambas di Prov. Kep. Riau, dan 92 peserta disebar ke pelosok Kab. Aceh Timur termasuk saya.

Hari rabu tanggal 18 September 2013, saya sampai di lokasi tempat saya bertugas, tepatnya di Ds. Pante Kera, Kec. Simpang Jernih, Kab. Aceh Timur – NAD. Sebuah tempat yang tampak asing bagi saya, dimana desa tersebut dikelilingi oleh pepohonan rindang yang didominasi oleh pohon pinang dan sawit dengan rumah-rumah yang agak berjauhan dan bisa dikatakan hanya sedikit. Suhu udaranya cukup panas, sehingga membuat saya berkeringat sepanjang hari. Jalur transportasi menuju desa ini melalui jalur sungai yang cukup besar menggunakan boat penumpang. Pelabuhan terdekat adalah dari sebuah pelabuhan kecil di Kuala Simpang Kab. Aceh Tamiang, untuk mencapai lokasi ini diperlukan waktu selama 4-5 jam. Sebenarnya untuk menuju lokasi ini bisa juga melalui jalur darat, hanya saja kondisi jalanan yang tidak layak membuat kebanyakan orang termasuk saya lebih memilih untuk menggunakan jalur sungai.

Desa Pante Kera ini merupakan desa yang dikelilingi sungai, karena letak desa ini membelah dua buah aliran sungai besar menuju Sungai Kanan dan Sungai Kiri. Bentuk rumah penduduk di desa ini berupa rumah dari kayu yang dibuat tinggi untuk menghindari luapan air dari sungai, ditambah karena dampak peristiwa Banjir Bandang yang menimpa daerah ini pada tahun 2006 silam. Desa ini cukup sepi dan jauh dari keramaian, penduduk desa ini hanya terdiri dari sekitar 33 kepala keluarga. Apalagi ketika musim berladang tiba, sebagian besar warga banyak menghabiskan waktu mereka di ladang, bahkan tidak jarang juga yang memilih untuk tidur di gubug yang mereka dirikan di ladang karena jauhnya jarak ladang dari perkampungan. Semua penduduk desa ini beragama Islam dan berasal dari suku Gayo, yang konon katanya masih satu garis keturunan dengan Suku Batak Karo. Bahasa yang mereka gunakanpun adalah bahasa Gayo. Matapencaharian penduduk di sini sebagian besar adalah berladang padi, sawit dan pinang, serta menebang pohon atau mereka sebut kerja balok (balok kayu).

Tempat tinggal selama bertugas di Aceh Timur (SM-3T)
Tempat tinggal saya selama satu tahun bertugas

Saya akan bertugas di lokasi ini selama satu tahun, dan menempati rumah kosong milik salah satu warga. Saya bertugas sebagai Guru di SDN Pante Kera, sebuah sekolah baru yang selesai didirikan pada tahun 2012 lalu dan mulai beroperasi pada tahun ajaran 2013/2014 ini. Sekolah ini baru menyelenggarakan pendidikan kelas 1 saja, dengan siswa sebanyak 24 orang. Karena dulu jarak dari desa ini ke sekolah terdekat, yaitu SDN Simpang Jernih cukup jauh dan harus melewati sungai, sehingga banyak masyarakat yang memilih tidak menyekolahkan anak-anaknya. Maka setelah sekolah ini berdiri, baru mereka mau menyekolahkan anak-anaknya. Bisa anda bayangkan tidak sedikit siswa di sekolah ini yang termasuk kedalam siswa telat bersekolah. Dari ke-24 siswa di kelas 1 ini, usianya sangat beragam, dimula dari usia 5 tahun sampai usia 18 tahun dan kebanyakan usia siswa berkisar antara 10 – 13 tahun. Ada diantara mereka yang sempat merasakan bersekolah di SDN Simpang Jernih beberapa tahun lalau, namun baru beberapa bulan bersekolah mereka merasa kelelahan dan berhenti sekolah. Hal itu cukup wajar, karena saya sendiri pernah merasakan berjalan kaki menuju Simpang Jernih dengan melewati sungai terlebih dahulu menggunakan getek, bisa saya perkirakan jaraknya sekitar 5 km dengan jalan melewati semak-semak dan tanah.

Kondisi bangunan sekolah sendiri cukup bagus, karena memang merupakan bangunan yang baru didirikan, walaupun sekolah ini baru terdiri dari 3 lokal kelas saja dan belum ada bangunan lainnya.

SDN Pante Kera, Tempat bertugas SM-3T di Aceh Timur
Sekolah tempat tugas saya, SDN Pante Kera.

Sekolah ini memang sangat baru, setiap kelas berisi 24 pasang meja belajar siswa, 1 pasang meja guru, 1 buah papan tulis, 1 buah tempat sampah dan 1 buah lemari tanpa isi apapun. Di depan bangunan kelas terdapat satu buah tiang bendera dari besi, yang agak miring. Sekolah ini memang sangat-sangat baru, sehingga belum adanya pendanaan dari pemerintah, segala keperluan sekolah seperti hiasan dinding, gambar garuda dan poto presiden, kapur, sapu dan sebagainyapun terpaksa dibiayai sendiri oleh guru dan kepala sekolah. Saya sendiri sedikit menyisihkan uang sendri untuk membuat papan identitas sekolah, karena prihatin dengan keadaan sekolah yang sangat polos. Tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah ini terdiri dari 1 Kepala Sekolah berstatus PNS yaitu Ibu Nuriah, S.Pd.I dan 3 orang guru bakti ditambah saya. 3 guru bakti tersebut termasuk 1 orang guru kelas (Ibu Syarifah Aminah, A.Ma.Pd), 1 orang guru PAI (Ibu Murlina, S.Pd.I) dan 1 orang guru olahraga sekaligus penjaga sekolah dan bendahara sekolah (Bpk. Adi Syahputra).

Pertama kali datang dan mengajar di sekolah ini, kondisinya memang cukup memprihatinkan dan menyayat hati bagi kita sebagai pendidik yang terbiasa dengan kehidupan di kota. Melihat anak-anak setiap pagi berjalan kaki menuju sekolah tanpa alas kaki dan pakaian lusuh serta penuh lumpur, walaupun ada satu-dua orang siswa yang bersepatu. Bahkan tak jarang siswa yang bersekolah tanpa menggunakan seragam, seragam mereka sedang dicuci orang tuanya karena mereka masing-masing hanya memiliki satu setel pakaian sekolah. Bahkan ada juga siswa yang sehari-harinya bermain tanpa menggunakan baju, karena suatu keterbatasan yang sangat memprihatinkan.

Jika musim berladang tiba, mereka berangkat sekolah dari ladang yang jaraknya cukup jauh dan harus melewati beberapa bukit sebelum sampai ke sekolah, membuat mereka membawa pakaian ganti dan menggantinya dibelakang sekolah agar baju seragamnya tidak terbasahi keringat dan lumpur jalanan tanah yang mereka lalui sepanjang perjalanan.

Keadaan ekonomi masyarakat daerah ini masih terbilang rendah, padahal sinyal seluler dan listrik sudah masuk ke daerah ini meskipun terbatas. Bisa jadi hal ini disebabkan karena pendidikan masyarakat yang hanya cukup bersekolah sampai tamat SD, walaupun akhir-akhir ini ada beberapa warga yang menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang berikutnya. Bahkan ada juga orangtua siswa yang menanggap pendidikan formal itu tidak terlalu penting, mereka beranggapan hidup sudah cukup dengan kerja balok dan tidak perlu sekolah tinggi karna menurut mereka ujung-ujungnyapun anak mereka akan berkerja balok.

Dilihat dari penampilanpun, terdapat beberapa anak berpakaian lusuh, dengan rambut pirang dan perut sedikit buncit, hal yang biasa kita bayangkan berada di negara miskin Afrika ternyata ada juga di bagian Barat Negara kita yang kaya ini dan seyogyanya sudah bisa memberantas keadaan seperti ini. Terkadang ada beberapa anakpun yang kesulitan dalam belajar, mungkin disebabkan oleh faktor gizi yang kurang sehingga mempengaruhi perkembangan belajarnya.

Pertama kali hidup dan mengajar di daerah ini, saya sempat mengalami kesulitan karena adat kebiasaan dan kebudayaan yang berbeda dengan daerah asal saya di Bandung. Disini, sebagian besar aktifitas rumah tangga dilakukan di sungai, dimulai dari mandi, mencuci pakaian, mencuci piring dan buang air kecil dan besarpun di sungai, bahkan air untuk minum dan keperluan lainnyapun harus kita angkut dari sungai. Jarak dari rumah ke sungai memang tidak terlalu jauh, hanya sekitar 200 m, namun tetap merupakan sesuatu yang tidak biasa bagi saya. Setiap hari saya harus beberapa kali bolak-balik ke sungai, sekedar untuk mengambil air wudhu dan mandi, bolak-balik lagi mengangkut air untuk keperluan minum dan memasak. Capek memang, namun lama-kelamaan sayapun mulai terbiasa dan menikmati hidup disini. Namun lain halnya jika hari sedang hujan, air sungai menjadi sangat keruh dan kental. Untuk mandi, buang air dan memncuci memang masih bisa ke sungai, namun untuk keperluan air minum dan memasak saya terpaksa menampung air hujan menggunakan ember. Untuk melakukan aktifitas di sungaipun harus berhati-hati, jika air sungai sedang pasang dan besar, saya tidak berani ke sungai, bahkan wargapun tidak ada yang berani. Sekedar berjaga-jaga, mengingat daerah inipun merupakan daerah tempat meninggalnya Pahlawan Pendidikan kita Kang Geugeut dan Teh Winda yang hanyut pada peristiwa Boat Karam tahun 2012 lalu. Mereka adalah sesama peserta SM-3T UPI angkatan 2 yang bertugas di daerah Gampong (Desa) Melidi, sebuah desa yang berada di atas desa lokasi saya ini dan masih satu jalur sungai, sekitar 1 jam perjalanan menyusuri sungai dari desa ini.

Sungai tempat mencuci, mandi dan buang air selama di Aceh Timur (SM-3T)
Sungai tempat mandi, mencuci, dan buang air

Gambar diatas adalah sungai tempat warga desa ini melakukan aktifitas sehari-hari untuk keperluan rumah tangga mereka. Dalam gambar ini tampak keadaan air sedang surut, jika air sedang pasang air bisa naik cukup tinggi dan deras bahkan terkadang sampai ke permukiman warga. Namun dibalik kesusahan itu terdapat hal-hal menarik dan sangat menyenangkan. Kita bisa melihat tawa anak-anak yang memang membutuhkan perhatian kita orang dewasa yang mungkin lebih mengerti mengenai makna kehidupan. “Bahwa hidup itu tidak cukup dengan bekerja balok, kesuksesan masih bisa diraih walaupun berada di tengah-tengah kesulitan”.

Selain mengajar di sekolah, kadang sayapun menyempatkan diri untuk memberikan pelajaran tambahan kepada siswa-siswi di desa ini, baik yang bersekolah di SDN Pante kera dan SDN Simpang Jernih maupun siswa SMP yang datang kerumah tiap sorenya. Kadangpun anak-anak berkumpul setiap sore, sehabis mandi dengan pakaian bagus menurut mereka yang mereka punya, dengan wangi-wangian yang mereka anggap harum dengan senyuman lucu membawa alquran dan buku iqro untuk belajar ngaji bersama saya di rumah tinggal saya. Sungguh menyejukan hati rasanya, dibalik rasa keprihatinan akan kehidupan mereka muncul sebiah api semangat dalam diri saya. “Ayo nak, kalian bisa sukses, biar hidup enak !”

Terkadang jika waktu senggang, seringkali anak-anak mengajak saya untuk menjala atau menembak ikan bersama di sungai. Dengan menggunakan sampan kecil, mereka biasa pergi ke sungai dan menyelam untuk menembak ikan menggunakan alat tembak ikan sederhana buatan orangtua mereka. Sayapun sempat beberapa kali ikut mereka, mereka tampak riang melompat ke sungai untuk mencari ikan, saya hanya diam di atas sampan dengan menggunakan pelampung karena saya sadar saya tidak bisa berenang, duduk melihat anak-anak sedang mencari kawan nasi untuk mereka makan nanti. Bisa dikatakan semua anak disini jago berenang, sayapun sering kali ditertawakan mereka karena tidak bisa berenang. Setiap kali mandi, saya sering diajari mereka berenang, dan alhasil sampai sekarang saya sudah menguasai gaya batu dan gaya kayu mahoni. Hanyuuuut.

Menembak ikan, hiburan saat bertugas SM-3T di Aceh Timur
Tempat mencari ikan di sungai, menggunakan alat tembak sederhana

Jika mulai merasa suntuk dan waktu libur, terkadang sayapun pergi mengunjungi beberapa teman sesama peserta SM-3T di daerah lain, seperti ke Gampong Simpang Jernih, Melidi, Tampur Paloh, Tampur Boor, Trans HTI dan Bedari yang semuanya menggunakan jalur transportasi sungai. Senang rasanya apabila kita bertemu dengan teman seperjuangan sesama peserta SM-3T disana, seperti sudah menjadi keluarga sendiri.

Inilah sedikit cerita mengenai sebuah langkah kecil kami untuk bangsa, dan mungkin pengorbanan kami ini tidak ada artinya jika di bandingkan dengan perjuangan para Pahlawan dalam merebut kemeredekaan. Sebagai tenaga pendidik yang “Cinta tanah Air”, marilah kita wujudkan Generasi Emas Indonesia tahun 2045. Seperti isi dari “Mars Maju Bersama (SM-3T)” berikut:

Mars Maju Bersama
Hai kau pemuda dan pemudi harapan Ibu Pertiwi
Mari kita raih prestasi, bersama kita membangum Negeri
Jadilah pendidik yang berdedikasi, mengabdi ke pelosok Negeri
Mendidiklah dengan setulus hati, agar tercipta generasi mandiri
Mari kita maju bersama, mencerdaskan Indonesia
Menjadi Sarjana Mendidik Bangsa
Menujulah yang Terdepan, gapai mereka yang Terluar
Jangkaula mimpi-mimpi yang Tertinggal
Demi terwujudnya Generasi Emas Indonesia
Indonesia…

Bagi teman-teman (khususnya sarjana pendidikan) yang berminat mengabdikan dirinya mengabdi ke pelosok negeri yang memang membutuhkan kalian, silahkan cek persyaratan dan daftarkan diri kalian di website :

Selain program SM-3T ini juga masih ada program mendidik di daerah pelosok negeri ini, yaitu melalui program yang diadakan oleh Yayasan Indonesia Mengajar, silahkan cek melalui website:

ini hanyalah sedikit cerita yang bisa dibilang masih mending. Masih banyak di luar sana Anak-Anak Indonesia yang membutuhkan kehidupan dan pendidikan yang layak, mereka membutuhkan kita semua. Apalagi lebih banyak lagi cerita dari Timur Indonesia yang keadaannya lebih memprihatinkan dari ini, baik kehidupan dan pendidikannya. Negeri kita kaya raya, pendidikan penduduknyapun harus kaya…

TEMAN, MEREKA MEMBUTUHKAN ANDA, KALIAN, DAN KITA SEMUA…
SEDIKIT LANGKAH KECIL KITA, BERARTI BISA MENYALAKAN KEMBALI SEBUAH PELITA HARAPAN MEREKA, APA SALAHNYA SETAHUN MENGABDIKAN DIRI KITA UNTUK BANGSA INI.
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.